Tergugat Mangkir, Sidang Perdana Kasus Pencemaran Lingkungan di Muara Badak Ditunda

TENGGARONG – Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong, menggelar sidang perdana atas kasus pencemaran lingkungan. Diduga melibatkan 11 perusahaan tambang batu bara. Sayangnya persidangan yang berlangsung pada Rabu (7/6/2023) ini harus ditunda, lantaran empat dari 11 perusahaan beserta beberapa instansi pemerintah dan institusi pemangku kebijakan tidak hadir. sidang ini,

Mangkirnya sejumlah pihak tersebut, Majelis Hakim menunda proses persidangan. Kemudian mengagendakan sidang lanjutan pada 28 Juni 2023 yang akan datang.

Merespon ditundanya sidang perdana ini, kuasa hukum kelompok nelayan di Kecamatan Muara Badak, Agus Shali, mengaku kecewa. Ia berharap agar dalam sidang selanjutnya, dia meminta pemanggilan kepada para tergugat dilakukan secara manual. Tidak lagi menggunakan kantor pos, sebagai media untuk menyampaikan rilis.

“Makanya dalam persidangan kami putuskan walaupun harus menambah biaya yang besar sekalipun, supaya dipanggil secara manual dan pendelegasian,” kata Agus.

Agus Shali menuturkan, bahwa pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin dalam
kasus ini. Hingga majelis hakim membacakan putusannya nanti, tentunya Ia juga berharap gugatan para nelayan ini dapat dikabulkan oleh majelis hakim PN Tenggarong.

Ia menerangkan bahwa berdasarkan kajian yang dilakukannya, aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perbuatan yang dirasanya melawan hukum. Lantaran, aktivitas sejumlah perusahaan tersebut belum disertai legalitas.

Selain menggugat perusahaan, pihaknya juga menggugat pemerintah. Dimana pemerintah diminta untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Menurutnya, negara diberikan kewenangan penuh untuk mengawasi dan menindak semua perbuatan melawan hukum.

“Bayangkan saja dari tahun 2010 sampai tahun 2023 mustahil kalau pemerintah tidak mengetahui adanya kegiatan ilegal ini. Kerugian nelayan sudah mencapai Rp 500 miliar,” terusnya.

Ia mengatakan, aktifitas perusahaan tersebut disinyalir merugikan para nelayan hingga ratusan miliar rupiah, jika mengacu pada data satuan tugas yang dibentuk Gubernur Kaltim pada tahun 2018. Sehingga pihaknya melayangkan gugatan class action, dengan nominal kerugian Rp 500 miliar. Serta kerugian material selama 13 tahun yang dialami para nelayan saat mencari keadilan.

“Ada perusahaan yang melegalisasi kegiatan ilegal para pengusaha di Muara Berau. Tapi hal ini dibiarkan oleh pemerintah. Inilah yang merugikan para nelayan,” pungkasnya. (tabs)