Soal Perpu Cipta Kerja, Ini Tanggapan Akademisi Fahum Unikarta

Tenggarong – Persoalan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memasuki babak baru, setelah pada tahun 2020 publik dihebohkan dengan penetapan UU cipta kerja yang banyak mendapat penolakan. Kemudian UU ini diajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan diputuskan cacat formil atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Berdasarkan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dimana putusan ini menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian pemerintah dan lembaga legislatif diberi jangka waktu untuk melakukan perbaikan selama 2 tahun kedepan.

Putusan ini juga menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan, sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan. Jika perbaikan ini tidak dilakukan maka UU ini dinyatakan inkonstitusional.

Dipenghujung tahun lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo, menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) nomor 2 tahuNLn 2022 tentang Cipta Kerja. Tak ayal hal ini pun mendapat sorotan dari berbagai kalangan.

Salah satunya dari Akademisi Fakultas Hukum, Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Mansyur. Dia berpendapat, bahwa apa yang dilakukan oleh presiden adalah hal yang diakomodir secara konstitusional dan sah-sah saja.

Karena memang syarat lahirnya Perpu, jika merujuk ke pasal 22 ayat 1 UUD adalah hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kemudian UU nomor 12 tahun 2011, yang sudah di ganti dengan UU nomor 15 tahun 2019, hari ini juga memberikan definisi, atau batasan bahwa. Perpu adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang sejajar dengan UU, yang dikeluarkan oleh presiden.

Sehingga terkait dengan Perpu itu, Mansyur mengatakan itu menjadi hak preogratif presiden. Jadi yang menafsirkan bahwa negara dalam keadaan genting itu adalah presiden. Namun nanti perspektif atau interpretasi dari presiden ini diuji oleh DPR.

“Nah kalau saya terkait dengan Perpu Cipta Kerja, kalau kita merujuk pada dua pasal itu sah-sah saja, bahwa presiden menilai negara sedang ada dalam keadaan yang mendesak. Sehingga merasa perlu menetapkan Perpu, ya secara normatif sah-sah saja. Terlepas daripada unsur politik dibelakang ya, kalau bicara politik kan selalu mengarah kepada kepentingan. Tapi saya ini hanya bicara pada ranah normatif hukum saja,” sebut Mansyur, Rabu (4/1/2023)

Lebih lanjut, Mansyur menjelaskan bahwa sebenarnya itulah yang menjadi kelemahan dalam penetapan Perpu. Bagaimana kita memberikan hak preogratif kepada presiden untuk menilai, negara dalam keadaan genting atau tidak.

Mansyur menjelaskan, karena dalam konstitusi tidak ditafsirkan sejauh mana standar kegentingan negara sehingga bisa melahirkan Perpu. Bahkan beberapa ahli berpendapat bahwa hal ikhwal kegentingan itu yang menilai adalah presiden yang nantinya diuji di DPR.

Mansyur memaparkan, hanya ada putusan MK yang memberikan tiga tanda yang dapat dianggap sebagai hak ikhwal kegentingan itu. Pertama, adalah soal keadaan. Berbicara kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, berdasarkan UU.

Lalu yang kedua adalah UU yang dibutuhkan hingga hari ini belum ada, artinya ada kekosongan hukum. Kemudian yang ketiga ada undang-undang, tapi tidak memadai jadi tidak cukup mengakomodir keadaan yang ada. Sehingga ada banyak ruang bagi presiden untuk beranggapan negara ini dalam keadaan mendesak, dan perlu melahirkan Perpu.

Hanya saja memang, Mansyur menyayangkan sikap pemerintah ataupun DPR yang kerap membangkang pada putusan MK. Dimana dinilainya menjatuhkan marwah dari MK. Seperti misalnya pencabutan pasal penghinaan terhadap presiden yang kembali hadir kembali di KUHP yang baru. Pada putusan MK terkait UU Cipta Kerja pun menurutnya sama, bahwa lembaga negara melakukan pembangkangan terhadap putusan MK.

“Jadi apapun dalihnya, itu tetap pembangkangan terhadap keputusan MK. Karena jika merujuk pada putusan MK, harusnya diperbaiki dulu undang-undang nya. Ya walaupun memang yang dilakukan sah-sah saja,” tambahnya.

“Karena ini sudah memasuki tahun 2023, tentu dalam waktu dekat DPR akan mengadakan rapat, harapan kita adalah berdasarkan perintah hukum. Perpu yang dikeluarkan presiden segera dibahas di DPR untuk menilai. Apakah penilaian presiden itu benar atau tidak, layak atau tidak kemudian dijadikan sebagai UU,” pungkasnya. (tabs)