TENGGARONG – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kukar, menerima 3 laporan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu pada tahapan verifikasi faktual (verfak) dukungan perseorangan. Ditemukan saat melakukan pengawasan melekat terhadap proses verfak pemenuhan syarat dukungan pasangan calon perseorangan, pada pemilihan bupati dan wakil bupati Kukar.
“Sejauh ini kita menerima 3 aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu pada tahapan verfak dukungan perseorangan. Tapi itu masih proses pemeriksaan laporan yang telah disampaikan ke Bawaslu,” terang Koordinator Divisi (Kordiv) Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu Kukar, Hardianda, pada Kamis (4/7/2024).
Hardianda menegaskan, dalam melakukan pengawasan, pihaknya selalu merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Berdasarkan aturan ini, ia mengatakan terdapat beberapa potensi dugaan pelanggaran pemilihan selama proses verfak berlangsung. Baik itu pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, pelanggaran UU lainnya dan bahkan pelanggaran pidana.
Ia memberikan contoh potensi pelanggaran yang terjadi adalah jika pendukung dinyatakan meninggal dunia. Kemudian petugas verfak tidak meminta keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis, dari keluarga pendukung yang telah meninggal. Namun pada lembar dukungan pendukung dinyatakan Memenuhi Syarat (MS), padahal seharusnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Ini pun dikatakan Hardianda masuk dalam pelanggaran Administrasi.
“Dalam contoh kasus ini, tindakan yang bisa kita (Bawaslu Kukar) ambil adalah memberikan surat saran perbaikan kepada KPU Kukar. Agar segera memperbaiki data dukungan tersebut yang tadinya MS menjadi TMS,” terangnya.
Contoh kedua, jika ternyata terdapat pendukung yang menyatakan dukungannya kepada calon perseorangan. Namun status pekerjaannya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI atau Polri. Maka ini akan termasuk sebagai pelanggaran UU lainnya. Dimana jika hal ini ditemukan selama proses verfak, Bawaslu Kukar akan menyusun kajian dugaan pelanggaran kemudian diteruskan kepihak terkait.
“Contoh ketiga misalkan saja ada oknum penyelenggara pemilu yang terbukti berafiliasi dengan tim atau pasangan calon perseorangan. Untuk merubah data dukungan mereka yang tadinya TMS menjadi MS. Maka ini termasuk Pelanggaran Kode Etik yang nantinya akan kami proses sesuai dengan peraturan yang berlaku,” serunya.
Contoh yang keempat adalah, jika terdapat pendukung yang menggunakan identitas palsu dalam dukungan pasangan calon perseorangan, maka ini termasuk Pelanggaran Pidana Pemilu. Jika pelakunya adalah perorangan, maka ancaman pidananya ada pada Pasal 185 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pelakunya bisa dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan. Dengan denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 36 juta.
Pasal 185 A ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016, juga mengancam pelaku pemalsuan daftar dukungan terhadap calon perseorangan, dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Dengan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.
“Dalam tahapan verfak ini, pelanggaran pidana pemilu juga dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan. Baik itu PPS, PPK, dan termasuk KPU,” tandasnya.
Penulis : Ady Wahyudi
Editor : Muhammad Rafi’i