SAMARINDA – Polemik agraria kembali mencuat di Kutai Kartanegara. Mustapa, seorang petani dari Desa Jongkang, Kecamatan Loa Kulu, saat ini ditahan oleh pihak kepolisian karena dituduh membawa senjata tajam ke area operasional PT. Multi Harapan Utama (MHU), perusahaan tambang batu bara yang mengklaim bekerja di atas lahan konsesinya. Mustapa sendiri menyebut dirinya hanya ingin mempertahankan kebun miliknya yang disebut telah diratakan seluas 10 hektare.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Didik Agung Eko Wahono, meminta aparat penegak hukum dan pihak perusahaan untuk segera membebaskan Mustapa dan memberikan ganti rugi atas lahan yang telah digarap.
“Permintaan kami jelas. Pertama, pembebasan saudara Mustapa dari tahanan. Kedua, harus ada ganti rugi terhadap lahan petani yang telah diratakan,” kata Didik saat diwawancarai usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung E, Komplek DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Senin (26/5/2025).
Didik menilai penggunaan diksi “penyerobotan” terlalu keras. Ia lebih memilih menjelaskan secara kronologis bahwa perusahaan telah mulai bekerja di atas lahan yang selama ini dikelola petani. Sementara para petani berupaya menghalangi karena tidak ingin lahan produktif mereka digusur.
Dalam RDP yang mempertemukan pihak PT. MHU dan perwakilan petani Desa Jongkang, kuasa direksi PT. MHU, Al-Hikmi, menyebutkan bahwa proses pembebasan lahan telah mencapai 95 persen. Namun, tindakan Mustapa yang membawa senjata tajam dinilai sebagai bentuk arogansi dan berbahaya bagi kegiatan pertambangan.
“Pak Mustapa melakukan tindakan mengancam dengan membawa senjata tajam untuk menghalangi proses pertambangan. Maka dari itu, langkah hukum diambil,” kata Al-Hikmi dalam forum tersebut.
Namun dari pihak petani, pernyataan tersebut sangat mengecewakan. Akmal, juru bicara petani Desa Jongkang, menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberi tahu soal keberadaan konsesi tambang. Plang konsesi tiba-tiba saja dipasang di atas lahan yang sejak 2008 mereka kelola berdasarkan hibah dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
“Tiba-tiba lahan kami dipasangi plang pertambangan. Kami tidak pernah menjualnya, apalagi sepakat. Sekarang kebun kami yang jadi sumber penghasilan sudah rata. Tapi kami dipaksa menerima keputusan rapat,” ujar Akmal.
Menurut Akmal, ada tiga kelompok petani dengan total lahan sekitar 300 hektare yang terdampak. Namun karena posisi mereka lemah secara hukum, mereka merasa tak punya pilihan selain menerima keputusan yang ada—meskipun pahit.
“Karena itu kami tak mau mencantumkan harga, sebab niat kami memang tidak untuk menjual. Di kebun itulah penghidupan kami,” tegasnya.
Komisi I DPRD Kaltim menyatakan akan terus memantau perkembangan kasus ini, serta berupaya memediasi ulang agar penyelesaian yang lebih adil bisa tercapai antara petani dan pihak perusahaan.
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S