TPPO Anak di Bawah Umur Makin Marak, UPT P2TP2A Siap Bentuk Satgas PPA

TENGGARONG – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan anak dibawah umur, seakan menjadi momok baru bagi penegakan hukum di Indonesia. Para korban kerap kali terpaksa melakukan hal tersebut, dengan berbagai faktor. Mulai dari ekonomi, sosial media hingga lingkungan.

Mirisnya lagi, perbuatan semacam ini seakan terasa lebih mudah untuk dilakukan dengan kemajuan teknologi. Para pelaku kerap menjajakan anak di bawah umur, untuk menemani para lelaki hidung belang. Salah satunya melalui jaringan telepon maupun aplikasi.

Di Kutai Kartanegara (Kukar) sendiri, pihak kepolisian telah berhasil mengungkap kasus TPPO yang melibatkan anak di bawah umur. Dengan total sebanyak tiga kali dalam tiga tahun terakhir. Tiga kasus tersebut terjadi dalam kurun waktu dua tahun ini, di Kecamatan Loa Janan dan baru saja di Kecamatan Tenggarong.

Menanggapi pengungkapan ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar, melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A), mengaku terus berupaya untuk menghadirkan strategi penanganan khusus.  Bagi kasus-kasus TPPO yang melibatkan anak dibawah umur tersebut.

“TPPO ini memang menjadi perhatian serius bagi kami, karena penanganannya sulit dan terselubung. Kita sulit menemukan korban dan saksi-saksi yang menjadi penguat untuk menjerat pelaku. Untuk itu kita terus mempersiapkan strategi khusus untuk menanganinya,” ungkap Kepala UPT P2TP2A Kukar, Faridah, Jumat (21/6/2024).

Farida pun merincikan tiga kasus TPPO yang melibatkan anak di bawah umur. Dua kali terjadi di tahun 2023 lalu dan baru saja terungkap pada bulan Mei 2024 kemarin. Namun, ia menyebut UPT hanya menangani kasus di Loa Janan tahun 2023 dan di Tenggarong bulan Mei kemarin.

Para korban TPPO anak di bawah umur ini, mendapatkan asesmen yang diberikan UPT sesuai dengan kebutuhan korban. Mengingat kebutuhan tiap korban biasanya berbeda-beda. Namun Farida menegaskan, pelayanan yang diberikan pada para korban, biasanya lebih berfokus pada rehabilitasi psikologi korban.

“Bisanya kebutuhan korban itu berbeda-beda, karena kadang-kadang juga ada yang menerima kekerasan seksual dan mengalami luka fisik,” tambahnya.

Agar kasus serupa tidak kembali terulang di Kukar, Farida mengatakan pihaknya berencana untuk membentuk Tim Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Ini dilakukan untuk membantu UPT, dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kukar.

Dengan adanya Tim Satgas PPA ditingkat kabupaten, kecamatan, hingga kelurahan dan desa, akan mempermudah penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Karena satgas ini akan menjadi perpanjangan tangan kita. Dan kami berharap tahun depan sudah bisa terbentuk,” tutup Faridah. (Adv)

Penulis : Ady Wahyudi

Editor : Muhammad Rafi’i