SMA Nurulyaqin Sebulu, Mengabdi Tanpa SPP dan Berjuang Ditengah Keterbatasan

TENGGARONG – Sekitar 30 kilometer (km) dari ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), tepatnya di Desa Senoni, Kecamatan Sebulu, berdiri sebuah sekolah unik yang menyimpan berjuta cerita tentang dedikasi untuk dunia pendidikan.

Meskipun berstatus sekolah swasta, SMA Nurulyaqin Sebulu tak pernah menarik biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sejak awal berdiri pada tahun 2000, dibawah naungan Yayasan Nurulyaqin Sebulu.

Selama lebih dari dua dekade sekolah ini telah berdiri, rupanya mampu memberikan secerca harapan bagi ratusan anak, untuk tetap dapat mengenyam pendidikan. Laksana oase di tengah gurun pasir, sekolah ini hadir memberikan pendidikan ditengah keterbatasan ekonomi masyarakat di desa-desa sekitar.

Angin Penyejuk yang Penuh Keterbatasan

Ketika pertama kali melihat SMA Nurulyaqin Sebulu, mungkin sulit untuk percaya bahwa bangunan yang terlihat lapuk dan usang ini adalah tempat belajar bagi sekitar 90 siswa. Sekolah ini hanya memiliki tiga bangunan kelas yang kecil, dengan dinding kayu yang sudah berlubang dan kursi-kursi yang mulai reyot.

Rustam, seorang tenaga pendidik yang telah mengabdi disana sejak tahun 2008 menuturkan, bahwa bangunan sekolah tersebut dibangun pada tahun 2001. Itu pun berkat hibah tanah dari PT ICHI dan bantuan pembangunan dari Pemerintah Kabupaten Kukar melalui Program Gerbang Dayaku.

Sebelum menempati gedung sekolah yang sekarang, SMA Nurulyaqin sempat menjalankan kegiatan belajar mengajar dengan memanfaatkan bekas gedung Sekolah Dasar (SD), yang tidak jauh dari lokasi sekolah saat ini.

Namun, dibalik kesederhanaan fisik bangunan sekolah itu, semangat belajar para siswa tetap menyala. Mereka yang datang dari keluarga kurang mampu, berharap pendidikan yang mereka terima bisa membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Meski sekolah ini memiliki keterbatasan fasilitas, proses belajar mengajar tetap berjalan dengan baik. Dengan hanya tiga ruang kelas dan lima kelas yang harus diajar. Sekolah ini harus menyesuaikan jadwal agar semua siswa mendapatkan waktu belajar yang cukup.

SMA Nurulyaqin membagi kegiatan belajar mengajar dalam dua sesi. Kelas pagi berlangsung dari pukul 07.30 hingga 12.30 WITA, sementara sesi siang dimulai pukul 13.00 hingga 17.30 WITA.

Lagu Padamu Negeri Sebagai Inspirasi

Karena waktu mengajar terbagi menjadi dua sesi, hal ini mengharuskan para guru mengajar lebih lama dari sekolah pada umumnya. Namun kondisi ini tidak sebanding lurus dengan kesejahteraan mereka. Meski demikian, para  tenaga didik tetap bertahan mengajar di sekolah ini. Dengan alasan, panggilan jiwa untuk mengabdi.

Rustam menuturkan, bahwa penghasilan yang mereka terima jauh dari kata cukup. Bahkan ia mengungkapkan bahwa para guru sering kali tidak menerima honor secara teratur. Dalam beberapa waktu, pembayaran honor bisa tertunda hingga enam bulan.

“Honor kami pernah macet selama sekitar 6 bulan,“ sebutnya.

Rustam secara pribadi mengakui bahwa honor dari mengajar di tempat itu jauh dari kata layak. Namun di sisi lain, ia juga tidak sanggup jika harus berhenti mengajar. Ia mengaku tak kuasa jika harus merenggut mimpi anak didiknya hanya karena perkara kesejahteraan.

Sejak awal mengajar di tempat itu, ia mengaku sudah paham betul konsekuensinya. Mengajar di sekolah swasta yang tidak memungut biaya apapun, praktis honor yang bisa diterimanya hanya dari pemerintah provinsi (pemprov).

Ia mengatakan bahwa guru-guru yang bertahan di SMA Nurulyaqin merupakan orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk bagi negeri. Tidak sedikit tenaga pendidik yang keluar masuk sekolah karena masalah kesejahteraan.

“Ini kalau bicara masalah kesejahteraan, saya selalu mengingat momen pertama saya mendaftar untuk jadi guru di sini,” ucapnya.

Dengan mata yang berkaca-kaca Rustam mengisahkan pengalamannya saat mendaftarkan diri, sebagai tenaga pendidik di SMA Nurulyaqin Sebulu. Masih terekam jelas diingatannya, bahwa pada momen itu dirinya hanya diminta untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri.

“Waktu daftar saya cuma ditanya hapal lagu Padamu Negeri atau tidak. Karena di sekolah ini, lagu itu kita implementasikan,” ungkapnya.

Menjaga Komitmen Tanpa SPP Selama Lebih dari Dua Dekade

Seluruh kondisi ini diakuinya tidak terlepas dari komitmen pihak sekolah untuk tidak memungut SPP, kepada para peserta didik sejak awal berdiri. Hal ini merupakan bagian dari janji dan komitmen yang dipegang teguh oleh pemilik yayasan, bersama bupati Kukar pada saat itu.

Kini, meski keduanya telah berpulang ke pangkuan sang pencipta. Komitmen itu tetap dilanjutkan hingga hari ini. Bahkan, dalam rangka meringankan beban peserta didik, dalam tiga tahun kebelakang pihak sekolah juga menghapuskan biaya pembangunan.

Kini peserta didik hanya diminta untuk melakukan pembayaran biaya masuk, pakaian sekolah dan biaya ujian. Itupun jumlahnya sangat minim dan bisa dicicil hingga siswa lulus. Karena tidak ada pemasukan rutin dari SPP, sekolah bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) nasional dan daerah untuk membiayai operasional sehari-hari.

“Menghapuskan SPP Itu janji pemilik yayasan kepada pak Syaukani Hasan Rais pada saat itu. Komitmen itu yang dijaga sampai sekarang,” tegasnya.

Prestasi dan Harapan Masa Depan

Walaupun dengan segala keterbatasan, SMA Nurulyaqin Sebulu tetap berupaya untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya. Beberapa kegiatan ekstrakurikuler seperti Sepak Bola, Pramuka, dan kegiatan Siswa Pecinta Alam (SISPALA) berjalan dengan baik di sekolah ini.

Prestasi yang diraih pun tidak sedikit, menunjukkan bahwa semangat para siswa dan guru tidak pernah pudar, meskipun kondisi sekolah jauh dari kata ideal. Siswa di SMA Nurulyaqin Sebulu nyatanya masih sejumlah prestasi, meski menghadapi cukup banyak tantangan.

“Kalau prestasi Alhamdulilah, meskipun kita punya keterbatasan dari segi fasilitas tapi anak-anak kita masih mampu untuk berprestasi,” ujarnya.

SMA Nurulyaqin Sebulu adalah bukti bahwa pendidikan tidak selalu tentang fasilitas yang mewah. Tetapi lebih kepada semangat dan dedikasi untuk memberikan kesempatan belajar bagi semua anak. Terutama mereka yang kurang mampu.

Penulis : Ady Wahyudi

Editor : Muhammad Rafi’i