Setiap tahun, bahkan setiap pelaksanaan pemilu atau pilkada, Sidrap selalu muncul sebagai wilayah sengketa yang belum tuntas. Masuk ke Kota Bontang atau tetap menjadi bagian dari Kabupaten Kutai Timur. Ini perdebatan panjang yang tak kunjung selesai sejak pembentukan awal Kota Bontang pada tahun 1999.
Persoalan ini bermula dari tarik-menarik batas wilayah antara dua daerah yang berbatasan langsung. Kampung Sidrap, yang dihuni sekitar 3.000 jiwa. Secara geografis memang lebih dekat ke Bontang, namun secara administratif tercatat masih berada di bawah wilayah Kabupaten Kutai Timur, tepatnya sebagai bagian dari Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, berdasarkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005.
Pada masanya, sempat ada kesepakatan informal antara Wali Kota Bontang kala itu, almarhum Adi Darma, dan Bupati Kutim Isran Noor, yang menyetujui bahwa tujuh RT di Sidrap akan dimasukkan ke wilayah Bontang.
Kesepakatan ini menjadi dasar banyak warga Sidrap mengurus KTP Bontang. Namun, sayangnya, kesepakatan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara resmi melalui mekanisme penetapan batas wilayah sesuai regulasi.
Kini, kasus ini memasuki babak baru. Sengketa telah disidangkan hingga delapan kali di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi yang justru makin ramai bukan fakta hukum, melainkan saling sindir antarpejabat di media.
Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, yang juga berdomisili di Sidrap, menyampaikan klaim tegas bahwa Sidrap adalah bagian dari Bontang. Mantan Anggota DPRD Bontang ini menyebut siap menghadirkan saksi fakta dalam persidangan, bahkan menyindir bahwa pihak Kutim tidak memahami aturan.
Pernyataan ini pun memicu reaksi keras dari Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi, yang menilai ucapan tersebut tidak etis dan berpotensi merusak hubungan baik antardaerah yang selama ini telah terjalin.
Faktanya, MK dalam putusan selanya tidak menyatakan status quo wilayah. Sebaliknya, MK memerintahkan Gubernur Kalimantan Timur bersama Menteri Dalam Negeri untuk memfasilitasi mediasi antara kedua pemerintah daerah.
Mahyunadi mengungkap bahwa sejak lama Kutim telah merencanakan pembentukan desa, bahkan kecamatan baru di wilayah Sidrap. “Kenapa baru ribut sekarang? Karena dia baru jadi Wawali,” sindir Mahyunadi.
Ia juga menyoroti dugaan pelanggaran administratif oleh Pemkot Bontang yang menerbitkan KTP kepada warga Kutim, yang dapat berdampak hukum serius, khususnya terhadap data kependudukan dan daftar pemilih.
“Jangan dikompa-kompa lagi. Kita ini bukan Republik Bontang, bukan Republik Kutim. Kita semua bagian dari Republik Indonesia. Sepanjang demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat, ayo kerja sama,” tegas Mahyunadi.
Masalah ini juga menyentuh soal redistribusi sertifikat tanah. Karena status wilayah belum jelas, sertifikat tidak bisa dibagikan. Akibatnya, program legalisasi lahan warga menjadi mandek, dan hak kepemilikan pun menggantung. Lagi-lagi, masyarakat yang paling dirugikan.
Maka mari kita luruskan. Ini bukan soal siapa paling keras bicara, tapi siapa yang paling serius melayani. Kalau tujuannya sama, yakni memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan, seharusnya dua daerah ini bisa duduk bersama, bukan saling menyudutkan.
Jangan paksa warga menjadi korban ego birokrasi. Warga Sidrap membutuhkan kepastian, bukan konflik tanpa ujung. Mau masuk Kutim atau Bontang, prinsipnya tetap sama: layani mereka dengan baik, berikan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Itu saja.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim