Setahun Berlalu, Pembunuhan Petinggi Adat Muara Kate Belum Terungkap, DPRD Desak Proses Hukum Transparan

SAMARINDA – Hampir satu tahun sejak peristiwa tragis yang merenggut nyawa Rusel (60), petinggi adat Muara Kate, Kabupaten Paser, pelakunya masih belum terungkap. Rusel tewas dibacok oleh orang tak dikenal saat tengah bertugas menjaga pos pengawasan bersama empat warga lainnya. Pos tersebut dibangun untuk mencegah aktivitas truk pengangkut batu bara yang melintas di jalan warga.

Hingga kini, aparat kepolisian belum memberikan petunjuk berarti terkait identitas maupun ciri-ciri pelaku. Sementara itu, situasi di Muara Kate justru semakin mencekam akibat intensitas aktivitas pertambangan yang kian meningkat.

Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin, menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi sebenarnya telah menunjukkan itikad baik dalam menyikapi persoalan ini.

“Beberapa waktu lalu saya melihat ada langkah konkret dari Gubernur dengan mengundang berbagai kelompok masyarakat adat dan organisasi kerukunan. Itu bukti ada perhatian,” ujarnya saat diwawancarai.

Namun, Salehuddin menekankan pentingnya keterbukaan proses hukum agar warga tidak terus hidup dalam ketidakpastian. Ia berharap kasus ini diusut secara transparan dan akuntabel.

“Ini soal piring nasi, mohon maaf. Jadi memang rumit, karena menyangkut hajat hidup banyak orang,” ujarnya, menggambarkan kompleksitas masalah yang berkaitan erat dengan ekonomi warga dan kepentingan tambang.

Meski begitu, Salehuddin optimistis bahwa ada jalan keluar. Ia menilai pemerintah dan aparat masih memiliki ruang untuk menuntaskan kasus ini secara adil.

“Perlahan, saya yakin satu per satu kebenaran akan terungkap. Yang penting, prosesnya jangan tertutup dan harus melibatkan warga,” pungkasnya. (Adv)

Editor: Susanto

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.