DULU bangunannya berdiri megah, di atas lahan strategis jantung Balikpapan Selatan. Bangunan bercat cokelat elegan dengan nama Royal Suite Hotel itu dulunya adalah Guest House kebanggaan Pemprov Kaltim—tempat menginap para tamu penting dari Samarinda dan Jakarta.
Kini, bangunan yang dulu dibanggakan itu terperangkap dalam lilitan tunggakan dan pelanggaran kontrak oleh mitra swasta, yaitu PT Timur Borneo Indonesia (TBI).
Semua ini bermula pada tahun 2003. Kala itu, Pemkot Balikpapan mengajukan permohonan untuk mengelola aset provinsi berupa lahan eks Tugu di wilayah selatan. Gubernur saat itu menyambut permohonan tersebut dengan syarat: Pemkot menyerahkan lahan pengganti seluas 1 hektare di dekat rumah jabatan Wali Kota.
Kesepakatan terjadi. Kertas diteken. Janji diucap. Tapi seperti banyak urusan birokrasi lainnya, perjalanan tak pernah benar-benar mulus. Bertahun-tahun kemudian, persoalan muncul: mana bukti kepemilikan? Mana sertifikatnya?
Sementara dokumen bolak-balik dari Balikpapan ke Samarinda, tanah eks Tugu pun telah berubah fungsi menjadi Kantor KPU Kota Balikpapan.
Lahan pengganti pun telah ditetapkan di Jalan Syarifuddin Yoes. Proses hibah akhirnya menyusul, tetapi hingga hari ini—dua dekade sejak janji itu diucapkan—statusnya masih menggantung.
Pada 2016, semangat baru ditiupkan ke bangunan tua itu. Pemprov Kaltim mengubah fungsinya menjadi hotel bintang tiga dengan menggandeng PT TBI. Janjinya menggiurkan: investasi swasta, pendapatan daerah, layanan profesional.
Perjanjian diteken. Kontribusi tetap dijanjikan. Laba 20 persen disepakati. Semuanya tampak ideal di atas kertas.
Namun, realitas tak seindah brosur hotel. PT TBI hanya membayar pada tahun pertama. Setelah itu? Tunggakan demi tunggakan menggunung, menyentuh angka Rp4,8 miliar pada tahun 2025.
Peringatan demi peringatan dari Pemprov Kaltim tak pernah dijawab tuntas. Yang datang hanya manajer hotel, bukan komisaris. Yang muncul hanya alibi, bukan itikad baik.
Dan ketika audit dilakukan oleh Komisi I DPRD Kaltim, tujuh kamar hotel ternyata disulap menjadi ruang karaoke dewasa dan bar alkohol.
Kontrak dilanggar. Fungsi diselewengkan. Aset publik digunakan untuk hiburan privat. Yang dulu dibangun untuk martabat pemerintah, kini berubah menjadi tempat hiburan malam.
Sebagai catatan pribadi, saya pun pernah beberapa kali menginap di hotel ini. Terakhir, sekitar tujuh tahun lalu, saat mengikuti seleksi anggota Bawaslu Kabupaten/Kota se-Kalimantan Timur yang diselenggarakan di Royal Suite. Saat itu, semuanya tampak berjalan normal. Fasilitas kamar masih cukup representatif, dan tak ada informasi maupun kesan bahwa hotel ini memiliki ruang karaoke atau pub seperti yang kini dipersoalkan oleh anggota DPRD Kaltim.
Royal Suite bukan sekadar hotel. Ia adalah cermin dari pengelolaan aset daerah yang tercecer. Bagaimana cerita tentang kemewahan yang dijanjikan, namun kemudian terjerat dalam lilitan janji kosong dan pelanggaran kontrak.
Gedungnya memang masih berdiri. Mungkin tamunya masih ada yang menginap. Tapi nilai moral dan hukumnya sedang disorot publik. Pemprov Kaltim telah resmi memutus kontrak dengan PT TBI dan meminta pengosongan secara sukarela. Namun, hingga kini, proses itu belum benar-benar tuntas.
Akankah Royal Suite diselamatkan? Waktu akan menjawab. Namun satu hal sudah pasti: sejarah telah mencatat satu bab penting dari perjalanan hotel ini—bahwa aset negara tidak bisa dikelola tanpa kehati-hatian. Dan kemewahan tanpa integritas, pada akhirnya, hanya akan menjadi beban bagi masa depan. (*)
Oleh: Agus Susanto
Pemred Media Kaltim