Dari Widuran Solo ke Kaltim: Alarm Bagi Dunia Kuliner yang Tak Transparan

KEJUJURAN dalam bisnis bukan sekadar etika, tapi pondasi. Berita viral Ayam Goreng Widuran di Solo adalah tamparan keras yang harus jadi pelajaran para pelaku usaha kuliner di Kaltim.

Restoran legendaris yang telah eksis sejak 1973 itu mendadak mengakui bahwa produknya non-halal. Bukan setelah berdiri, tapi setelah puluhan tahun berjalan dan dikonsumsi ribuan orang, mayoritas umat Muslim. Jelas, ini bukan sekadar keterlambatan informasi. Ini bentuk kelalaian serius yang berdampak luas.

Publik geger. Pelanggan merasa dikhianati, dan kepercayaan yang dibangun puluhan tahun rontok dalam sekejap.

Pertanyaannya sederhana: kenapa baru sekarang diumumkan? Dan berapa banyak orang yang selama ini tanpa sadar menjadi korban karena ketidakterbukaan itu?

Langkah manajemen Widuran yang akhirnya mencantumkan label non-halal di seluruh cabang dan media sosial memang patut diapresiasi sebagai bentuk keterbukaan.

Tapi keterbukaan yang datang setelah kegaduhan besar bukanlah sikap tanggap, melainkan bentuk reaktif karena desakan publik. Kalau bukan karena media sosial dan tekanan warganet, apakah mereka akan terbuka?

Kasus ini adalah peringatan keras bagi para pelaku usaha kuliner di Kaltim: jangan pernah abaikan transparansi kepada konsumen, sekecil apa pun itu.

Apakah kita sudah jujur kepada konsumen? Apakah label halal, bahan baku, hingga proses produksi sudah dikomunikasikan secara terbuka sejak awal? Atau justru ada yang memilih bungkam selama masih untung?

Spanduk depan outlet Ayam Goreng Widuran di Solo masih menampilkan klaim “Halal” dengan slogan “Asli Ayam Kampung, Pasti Enak, Mak Nyusss…”.

Masyarakat Kaltim dikenal religius, sensitif terhadap isu halal, dan menjunjung tinggi prinsip kepercayaan.

Sekali kepercayaan itu dikhianati, bukan hanya konsumen yang menjauh, tapi juga nama baik dan keberlanjutan usaha ikut hancur.

Dan perlu diingat, saat satu pelaku usaha ketahuan tidak jujur, yang tercoreng bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga sektor kuliner di sekitarnya.

Sebagai contoh, di Bontang atau Samarinda. Ada banyak UMKM kuliner yang tengah tumbuh. Mereka sedang membangun kepercayaan, perlahan tapi konsisten.

Jangan sampai satu saja pelaku usaha menyembunyikan fakta penting dari konsumen, lalu berimbas buruk terhadap pelaku usaha lain yang sudah berupaya jujur dan transparan.

Ini bukan semata soal halal-haram. Tapi soal amanah. Konsumen punya hak untuk tahu apa yang mereka konsumsi. Jangan remehkan soal ini. Sekali ketahuan tidak jujur, efek viralnya bisa melampaui batas daerah, bahkan nasional.

Terlebih di era digital seperti sekarang, semua informasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.

Maka dari itu, kepada semua pelaku usaha kuliner di Kaltim: belajarlah dari Widuran. Jangan ulangi kesalahannya.

Bangun bisnis di atas prinsip kejujuran. Laporkan dengan jujur komposisi makanan, jangan ada yang ditutup-tutupi. Jika menggunakan bahan non-halal, katakan sejak awal. Biar konsumen yang menilai dan memilih. Jangan biarkan rasa enak menutupi fakta penting.

Karena pada akhirnya, kepercayaan adalah modal paling mahal dalam usaha. Dan sekali hilang, tidak mudah untuk kembali. (*)

Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.