SAMARINDA – Kalimantan Timur (Kaltim), yang dikenal sebagai salah satu provinsi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar di Kalimantan, justru memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi tetangganya se-Kalimantan yang memiliki APBD jauh lebih kecil. Data ini memunculkan pertanyaan besar terkait efektivitas pengelolaan anggaran dan program penanggulangan kemiskinan di Kaltim.
Dengan realisasi APBD sebesar Rp 23,34 triliun pada 2023, Kaltim memiliki anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan Kalimantan Tengah (Rp 6,3 triliun) dan Kalimantan Selatan (Rp 6,99 triliun). Namun, ironisnya, jumlah penduduk miskin di Kaltim lebih tinggi. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Kaltim mencapai 5,78%, lebih besar dari Kalimantan Tengah (5,17%) dan Kalimantan Selatan (4,11%).
Salah satu faktor utama yang memicu pertanyaan di kalangan pengamat dan masyarakat adalah bagaimana anggaran yang besar tidak berdampak signifikan pada pengurangan angka kemiskinan. “APBD yang besar seharusnya memberikan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, baik dari segi pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan ekonomi,” ujar Yundi Permadi Hakim, akademisi dari STIE Samarinda.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan antara anggaran yang besar dan hasil dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Banyak yang mempertanyakan apakah alokasi anggaran sudah difokuskan pada program-program yang tepat, atau justru terjebak pada belanja rutin yang tidak efisien.
Program-program yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan tampaknya belum memberikan dampak yang signifikan di Kaltim. Meskipun sudah ada beberapa program bantuan sosial dan subsidi, distribusi dan pengelolaannya seringkali terhambat oleh rantai birokrasi dan kurangnya pengawasan. Selain itu, upaya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat miskin masih minim dibandingkan dengan provinsi lain yang memiliki anggaran lebih kecil namun hasil yang lebih baik dalam menekan angka kemiskinan.
Yundi menyarankan bahwa pemerintah provinsi Kaltim perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap tata kelola anggaran. “Dana besar yang dimiliki Kaltim harus digunakan pada program-program yang bisa langsung berdampak pada pengurangan kemiskinan, seperti peningkatan akses pendidikan, pemberdayaan usaha kecil menengah (UMKM), dan penguatan sektor-sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja baru yang lebih luas,” jelas Yundi.
Dia menambahkan, “Selain itu, reformasi birokrasi dalam hal penyaluran bantuan sosial menjadi krusial agar program-program tersebut dapat menyentuh masyarakat miskin secara efektif dan merata. Tanpa adanya upaya konkret untuk memperbaiki tata kelola anggaran dan memperluas sektor ekonomi inklusif, angka kemiskinan di Kaltim akan sulit dikurangi.”
Melihat kondisi saat ini, provinsi Kalimantan Timur berada pada persimpangan antara potensi besar dengan sumber daya yang dimiliki dan tantangan sosial-ekonomi yang belum teratasi. APBD yang cukup besar harus dikelola secara lebih strategis untuk menurunkan tingkat kemiskinan, bukan hanya melalui bantuan sosial, tetapi juga dengan menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat miskin.
Program pemberdayaan di sektor pendidikan, peningkatan keterampilan tenaga kerja, hingga pengembangan sektor ekonomi non-pertambangan harus lebih ditingkatkan. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam kebijakan dan alokasi anggaran, masyarakat Kaltim akan terus mengalami kemiskinan meskipun memiliki anggaran yang cukup besar. (MK)