APBD 2024 Sisakan Rp2,5 Triliun, PKB: Jangan Ulangi Kesalahan Tahun Ini

SAMARINDA — Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Kalimantan Timur menyoroti besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dalam Laporan Pertanggungjawaban APBD 2024. Hal ini disampaikan dalam Rapat Paripurna ke-19 dengan agenda Penyampaian Pandangan Umum Fraksi terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024.

Anggota Komisi IV DPRD Kaltim dari Fraksi PKB, Damayanti, menilai SILPA yang mencapai sekitar Rp2,5 triliun menunjukkan adanya hak masyarakat yang tidak terserap secara optimal.

“Kami menyayangkan, karena ini artinya ada anggaran yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik, namun tidak terlaksana,” tegas Damayanti.

SILPA sendiri merupakan selisih antara realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran dalam satu tahun anggaran. Umumnya, SILPA terjadi karena beberapa faktor, seperti perencanaan yang kurang presisi, realisasi pendapatan yang melampaui target, atau realisasi belanja yang tidak maksimal.

“Kami mendorong pemerintah provinsi untuk lebih cermat dalam menyusun perencanaan. Jangan sampai hak masyarakat terabaikan hanya karena kelemahan di aspek teknis anggaran,” lanjutnya.

Menurut Damayanti, anggaran yang tak terserap seharusnya bisa diarahkan untuk membiayai kebutuhan nyata masyarakat, seperti pembangunan sekolah menengah di kota-kota yang masih kekurangan fasilitas, seperti Balikpapan.

Ia berharap kondisi serupa tidak kembali terulang dalam APBD tahun-tahun mendatang. Damayanti juga mengingatkan komitmen Gubernur Kaltim yang baru, Rudy Mas’ud, yang sempat menyatakan keinginannya untuk mengoptimalkan serapan anggaran dan meminimalisasi SILPA di masa kepemimpinannya.(Adv)

Editor: Susanto

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.