TENGGARONG – Masyarakat Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), dengan tegas menyatakan penolakan mereka terhadap rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh PT Puncak Panglima Perkasa (PPP). Bahkan, aktivitas perusahaan tersebut di wilayah mereka dinilai meresahkan.
Keterangan ini disampaikan langsung oleh Kepala Desa (Kades) Kedang Ipil, Kuspawansyah. Ia mengatakan bahwa masyarakat berharap masalah ini dapat segera diselesaikan. Serta aktivitas PT PPP dapat dihentikan sampai persoalan ini terselesaikan.
“Masyarakat menolak keberadaan perusahaan ini. Kami sudah melaporkan ke pemerintah dua bulan lalu, namun belum ada respon, sehingga kami meminta DPRD untuk menindaklanjuti,” katanya, beberapa waktu lalu.
Kuspawansyah menegaskan bahwa, masyarakat Kedang Ipil menolak keras aktivitas PT PPP. Ini dilakukan karena dianggap akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Menurutnya, rencana pengembangan perkebunan sawit tersebut mengancam kehidupan adat dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun di desa tersebut.
“Penolakan ini bukan hanya didasari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kami menginginkan keberlangsungan hidup di Desa Kedang Ipil tetap terjaga dan tidak terganggu oleh aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan dan adat istiadat kami,” tegas Kuspawansyah.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa aktivitas perusahaan sudah berjalan meskipun belum mendapatkan izin resmi. Hal ini, menurut Kuspawansyah, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Karena perusahaan telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan dukungan dari warga. Termasuk dengan menawarkan mereka menjadi humas tanpa memberikan pemahaman yang jelas mengenai dampak dari investasi tersebut.
“Kami sudah menyurati bupati Kukar melalui dinas terkait untuk menghentikan aktivitas perusahaan ini. Namun, karena belum ada respons, kami mendatangi DPRD Kukar untuk menyuarakan penolakan kami secara resmi,” ujar Kuspawansyah.
Sementara itu, Kepala Adat Kedang Ipil, Sartin, mengekspresikan kekesalannya terhadap aktivitas perusahaan yang mengganggu hutan adat yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat adat. Menurutnya, jika hutan adat tersebut diambil alih oleh perusahaan, maka masyarakat akan kehilangan warisan budaya yang selama ini mereka pertahankan.
“Kami berharap aktivitas ini dihentikan. Hutan yang digunakan direncanakan untuk hutan adat. Jika itu diambil, tidak ada lagi cerita adat. Kami mempertahankan warisan leluhur kami,” kata Sartin dengan tegas.
Sartin juga menyoroti adanya upaya dari perusahaan untuk memecah belah masyarakat dengan mempengaruhi beberapa warga agar mendukung pengembangan perkebunan sawit.
“Kami tidak ingin ada perpecahan di antara masyarakat kami. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah segera bertindak untuk menghentikan aktivitas perusahaan ini,” tandasnya. (Adv)
Penulis : Ady Wahyudi
Editor : Muhammad Rafi’i