DESAIN Besar Olahraga Nasional (DBON) digagas untuk menjadi pondasi pembinaan atlet nasional yang sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan. Di Kaltim, program ini mendapat tempat istimewa: satu-satunya provinsi di Indonesia yang membentuk DBON sebagai lembaga resmi dengan dukungan struktural dan alokasi anggaran yang luar biasa besar.
Pada titik ini, kita bisa berbangga. Tapi kebanggaan itu kini harus diuji. Sebab, di balik semangat besar membangun prestasi olahraga, ada tanda tanya besar dalam tata kelola anggarannya.
Pada tahun anggaran 2023, Pemprov Kaltim mengalokasikan Rp100 miliar untuk DBON—lonjakan yang sangat besar dibanding proyeksi kebutuhan awal yang hanya Rp17 miliar.
Diberitakan sejumlah media, saat itu Ketua Pelaksana Sekretariat DBON Kaltim, Zairin Zein, menyatakan bahwa pihaknya sempat mengusulkan revisi angka tersebut karena merasa belum membutuhkan dana sebesar itu. “Kami sempat kaget dengan nilai tersebut, karena kami belum membutuhkan dana sebesar itu sekarang,” ujarnya. Namun, karena telah disahkan dalam APBD murni, anggaran itu tetap harus dijalankan.
Dari sinilah kontroversi mulai bergulir. Bahkan, publik dikejutkan oleh kemunculan sebuah dokumen internal yang mencantumkan rincian pembagian dana hibah dan ditandatangani langsung oleh pimpinan DBON.
Dokumen itu memuat alokasi hibah yang terbagi kepada delapan lembaga olahraga di Kaltim. Di antaranya, KONI Kaltim menerima alokasi terbesar, yakni Rp43,5 miliar, diikuti DBON Kaltim sebesar Rp31 miliar.
Selanjutnya, NPCI Kaltim (Komite Paralimpik Indonesia) menerima Rp10 miliar; KORMI Kaltim (Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia) sebesar Rp7,5 miliar; BAPOPSI Kaltim (Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) Rp2,5 miliar; BAPOMI Kaltim (Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia) Rp2 miliar; BAPOR KORPRI Kaltim (Badan Pembina Olahraga Korps Pegawai Republik Indonesia) Rp2 miliar; dan SIWO PWI Kaltim (Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia) sebesar Rp1,5 miliar.
Total keseluruhan dana yang tercantum dalam dokumen tersebut mencapai Rp100 miliar, yang semestinya digunakan untuk mendukung kegiatan pembinaan dan pengembangan olahraga di Kaltim.
Meskipun kemudian diklarifikasi bahwa surat tersebut merupakan draf awal dan bahwa pembagian resmi dilakukan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) melalui NPHD kedua, publik tetap berhak bertanya: mengapa lembaga baru seperti DBON, yang bahkan belum genap satu tahun berjalan, justru menjadi simpul awal distribusi dana jumbo ini?
Polemik ini sebenarnya bukan baru muncul saat ini. Pada tahun 2023, sejumlah anggota DPRD Kaltim sudah mengingatkan agar pola penganggaran DBON dan lembaga-lembaga baru lainnya harus dievaluasi secara ketat.
Salah satunya adalah anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Marthinus, yang menyebut bahwa anggaran hibah sebesar Rp100 miliar perlu dikaji ulang. “Soal DBON ini jadi pertanyaan masyarakat Kaltim. Ini perlu dikaji ulang dan dievaluasi agar jelas penggunaan dan pertanggungjawabannya,” ujar Marthinus saat itu.
Ia juga mengusulkan agar pengurus DBON dipanggil dalam rapat resmi dewan untuk menjelaskan secara terbuka rencana kegiatan, mekanisme pembinaan, dan capaian kinerja. Sayangnya, kritik ini kala itu kurang mendapatkan tindak lanjut yang serius.
BABAK BARU: PENYIDIKAN KEJATI KALTIM
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim kini resmi menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Kantor Dispora Kaltim pun telah digeledah. Sejumlah dokumen, surat, dan perangkat elektronik disita sebagai bagian dari proses pembuktian atas dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana hibah DBON.
Meski prosesnya masih berlangsung, publik tentu berharap penyidikan dilakukan secara profesional, menyeluruh, dan objektif. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan sesuai tujuan, prosedur, dan manfaatnya.
DBON Kaltim memikul harapan besar sebagai lokomotif pembinaan atlet usia dini di Bumi Etam. Maka, harapan sebesar itu menuntut tanggung jawab yang sepadan.
Bukan hanya dalam bentuk kegiatan dan laporan, tetapi juga dalam transparansi penggunaan anggaran, pertanggungjawaban publik, dan kesiapan untuk dievaluasi.
Mari beri ruang kepada aparat penegak hukum untuk menyelidiki dengan profesional dan menyeluruh. Namun, pada saat yang sama, kepercayaan publik tidak dibangun dari klarifikasi sepihak, melainkan dari keterbukaan yang nyata.
Bila semuanya sesuai aturan, buktikan secara terbuka. Jika ada kekeliruan, akui dan benahi. Karena tak seharusnya pembinaan olahraga tumbuh dari sistem yang keliru. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.