Ibadah Haji Bukan Uji Coba Sistem, Negara Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama

LIMA puluh tahun lebih Indonesia menyelenggarakan ibadah haji. Tapi tetap saja, setiap musimnya membawa cerita baru. Sayangnya, cerita tahun ini tidak diawali dengan khusyuknya doa atau haru keberangkatan. Melainkan kekacauan logistik dan keresahan yang membayangi ribuan jemaah haji Indonesia di Tanah Suci.

Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) yang mengalihkan sistem pelayanan dari satu syarikah ke delapan mitra di Arab Saudi memang dilandasi semangat efisiensi dan perbaikan layanan.

Namun realitasnya, banyak keluhan justru memisahkan orang tua dari anaknya, pendamping lansia dari yang didampingi, bahkan memisahkan suami dari istri.

Maka wajar publik bertanya: ini sistem syarikah atau sistem semrawut? Kritik dari Komisi VIII DPR RI menggambarkan kegelisahan tersebut.

Legislator NasDem, Dini Rahmania, menilai sistem baru ini memicu kekacauan dan memisahkan jemaah dari keluarga. “Ini sistem syarikah atau sistem semrawut?” tanyanya.

Legislator Demokrat, Nanang Samodra, menambahkan bahwa akar masalah justru berasal dari keputusan pemerintah sendiri. “Siapa yang memilih syarikah? Bukankah kita yang menetapkan? Kenapa justru kita melepaskan kendali?” katanya.

Bahkan Komnas Haji melalui ketuanya Mustolih Siradj menyebut pemisahan jemaah dalam satu keluarga hingga disabilitas dari pendampingnya sebagai kegagapan sistem yang menyentuh langsung sisi kemanusiaan.

Kementerian Agama tak tinggal diam. Dirjen PHU, Hilman Latief, menjelaskan bahwa delapan syarikah dipilih lewat seleksi terbuka dari lebih 25 perusahaan. Ia mengatakan tidak ada monopoli dan ini demi kompetisi layanan.

Namun, ia tak menampik, banyak kloter jadi “gado-gado” karena tekanan akomodasi daerah dan koordinasi yang lemah di tingkat kabupaten/kota. Hilman menyebut kekacauan ini mulai dibenahi sejak gelombang kedua keberangkatan jemaah haji, yang berlangsung pada 17–31 Mei 2025, dengan penerapan prinsip one syarikah, one kloter secara lebih ketat.

Adapun gelombang pertama telah berlangsung lebih dulu pada 2–16 Mei 2025, di mana mayoritas insiden pemisahan kloter dan layanan campuran terjadi.

Tapi publik menilai bahwa perbaikan di tengah jalan tak bisa menghapus fakta bahwa ribuan jemaah sudah terlanjur kecewa. Di Kaltim, persoalan ini juga ikut dirasakan langsung ribuan calon jemaah yang berangkat melalui Embarkasi Balikpapan.

Tahun ini, Kaltim mendapat kuota 2.586 jemaah. Terdiri dari 2.431 jemaah reguler, 129 jemaah prioritas lansia, 2 pembimbing KBIHU, dan 24 petugas haji daerah.

Kuota ini ditetapkan berdasarkan KMA No. 1196 Tahun 2024, menyesuaikan jumlah penduduk dan panjangnya antrean. Di Bontang misalnya, masa tunggu mencapai 43 tahun, sementara Mahakam Ulu yang tercepat pun harus menunggu 16 tahun.

Dengan biaya haji yang ditetapkan sebesar Rp 89,41 juta, dan Rp 55,43 juta ditanggung langsung oleh jemaah, ibadah haji tetap menjadi beban berat bagi masyarakat. Meski lebih ringan dari tahun sebelumnya, angka ini tidak murah. Apalagi ketika dibarengi layanan yang tidak maksimal.

Dari sisi kesehatan, situasinya juga tak ideal. Berdasarkan data Kemenag Kaltim, hanya 38 persen jemaah dinyatakan sehat, selebihnya memiliki risiko ringan hingga tinggi. Maka sistem pelayanan yang kacau bisa berbahaya secara medis, terutama bagi lansia dan jemaah rentan.

Video viral, Insiden jemaah yang tertahan di lobi hotel di Makkah karena belum tersedia kamar menunjukkan celah besar dalam koordinasi. Meski petugas mengklaim masalah selesai dalam waktu satu jam, faktanya adalah: hal seperti itu tak seharusnya terjadi.

Ini bukan sekadar soal vendor yang telat. Ini menyangkut martabat jemaah. Banyak di antaranya adalah warga sepuh yang menabung seumur hidup hanya demi satu kali haji.

Pemerintah harus mengambil pelajaran dari kegagalan sistem ini, dan segera melakukan tiga hal.

Pertama, sistem penempatan jemaah harus berbasis keluarga dan kebutuhan khusus.

Kedua, pelatihan petugas haji harus ditingkatkan, tidak hanya administratif, tapi juga dalam hal kemanusiaan.

Ketiga, buka audit publik atas kinerja dan penunjukan seluruh syarikah. Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan.

Untuk jemaah Kaltim yang kini sedang berada di Tanah Suci, kita hanya bisa mendoakan agar mereka diberi kekuatan dan kemudahan dalam menunaikan ibadah. Bagi keluarga yang menanti di tanah air, negara wajib memastikan setiap jemaah diperlakukan dengan hormat dan aman.

Karena haji bukan sekadar perjalanan spiritual. Ia adalah puncak harapan, puncak doa, dan puncak pengorbanan umat Islam. Maka negara tidak boleh menjadikannya ajang eksperimen sistem yang belum matang. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Media Kaltim

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.