TENGGARONG – Warga Desa Muai, Long Beleh Modang dan Long Beleh Ukung, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara (Kukar), mendapatkan sosialisasi terkait peraturan kehutanan di Balai Pertemuan Umum (BPU) Desa Long Beleh Modang. Agenda ini merupakan inisiasi PT Rencana Mulia Baratama (RMB) dan PT Indo Bara Pratama (IBP) yang berkolaborasi dengan Pemerintah Kecamatan Kembang Janggut.
Dalam sosialisasi ini, instansi terkait seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Dinas Perkebunan (Disbun) Kukar, serta Polres Kukar, turut hadir untuk memberikan penjelasan kepada warga mengenai aturan pemanfaatan lahan di kawasan hutan.
Pelaksana Tugas (Plt) Camat Kembang Janggut, Suhartono, menekankan pentingnya sosialisasi ini untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hukum yang membatasi penggunaan lahan di kawasan hutan. Khususnya kawasan budidaya kehutanan yang memang banyak tersebar di Kecamatan Kembang Janggut.
Langkah ini diharapkan mampu mencegah konflik lahan di masa depan. Mengingat banyak masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
“Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kawasan hutan yang ada di area ini tidak bisa dimanfaatkan secara serta merta oleh masyarakat,” ujar Suhartono.
Perwakilan dari BPKH, Sahrul, menjelaskan pembagian hutan berdasarkan fungsi, termasuk hutan lindung, konservasi, dan produksi. Serta aturan yang berlaku terkait pemanfaatannya. Ia menyebutkan bahwa aktivitas pembukaan lahan di kawasan hutan yang telah ditetapkan dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Namun, Sahrul juga menjelaskan bahwa kawasan hutan produksi dapat digunakan untuk kegiatan tambang melalui mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.
“Beberapa kawasan hutan di Kecamatan Kembang Janggut ini telah ditetapkan sebagai kawasan pertambangan melalui izin dari Menteri Kehutanan,” tambah Sahrul.
Permasalahan ini berpotensi menimbulkan konflik lahan. Mengingat dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa cukup banyak warga yang merambah kawasan hutan, untuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan di area konsesi pertambangan IPPKH.
Untuk meminimalisir konflik antara masyarakat dan pemegang izin operasi di kawasan hutan. Dalam kesempatan ini ia menyampaikan kepada masyarakat setempat untuk berhenti membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan maupun IPPKH. Sahrul menegaskan bahwa perusahaan yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan memiliki dasar legal untuk beroperasi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mereka.
Penerbitan izin ini sekaligus memberikan kewenangan kepada pemegang izin untuk mengelola lahan sesuai ketentuan. Termasuk melakukan aktivitas penambangan di kawasan yang telah ditanami warga. Tentunya hal ini akan sulit diterima oleh masyarakat, namun ia menegaskan bahwa ketentuan hukum yang berlaku saat ini mengatakan demikian.
Bahwa berdasarkan ketentuan yang berlaku, kewenangan terhadap pengelolaan lahan kawasan yang dinaungi IPPKH sepenuhnya berada di tangan pemegang izin. “Jika perusahaan memiliki izin di kawasan tersebut, kewenangan legalitas berada di tangan pemegang izin,” jelasnya.
Sementara itu, Rini Dian Setyawati selaku perwakilan dari Dinas ESDM Kaltim menambahkan bahwa penerbitan izin pertambangan saat ini merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang diperbarui dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ia berharap sosialisasi ini memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak membuka kebun di atas kawasan yang telah ditetapkan sebagai konsesi pertambangan. Ia juga menegaskan bahwa kawasan yang telah ditetapkan sebagain konsesi pertambangan, memiliki aturan ketat yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat. Warga setempat dilarang untuk memasuki kawasan tersebut tanpa izin dari pihak perusahaan.
“Berkenaan dengan kondisi aktual yang terjadi di sini tentu ini berpotensi menimbulkan polemik krena warga merasa kawasan tersebut merupakan kebun mereka,” serunya.
“Tapi yang perlu saya sampaikan adalah sepanjang kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai area pertambangan aktivitas disana menjadi terbatas,” timpalnya.
Terhadap tindakan pihak-pihak tertentu yang mengganggu kegiatan pertambangan, di Indonesia telah terdapat norma hukum yang mengancam pidana terhadap pelaku. Hal ini diantaranya merujuk UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Jadi kami berharap masyarakat bisa memahami kondisi ini, bahwa jika suatu saat aktivitas penambangan dilakukan di kawasan kebun mereka yang masuk dalam kawasan konsesi pertambangan, segala bentuk upaya penghadangan bisa dikenakan sanksi pidana,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua Koperasi Belayan Sejahtera, Jamaludin, mengungkapkan bahwa banyak masyarakat memanfaatkan lahan kehutanan tanpa mengetahui status kawasan tersebut. Sehingga menjadikannya sebagai kebun kelapa sawit.
“Ada dua kemungkinan yang menyebabkan kondisi ini, yaitu masyarakat menanam lebih dulu sebelum izin PPKH terbit atau izinnya sudah terbit tetapi masyarakat tidak tahu,” jelasnya.
Ia khawatir kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik, mengingat warga enggan melepas kebun yang menjadi sumber penghasilan mereka. Diperkirakan kawasan perkebunan kelapa sawit milik warga yang memasuki area IPPKH mencapai ribuan hektare.
Karena menyadari ketentuan yang berlaku mengatakan bahwa kawasan IPPKH berada di bawah kewenangan pemegang izin. Petani setempat terus mencoba mencari solusi untuk mempertahankan kebunnya.
“Sekarang kami tengah berupaya meminta kebijaksanaan pemerintah untuk membebaskan kawasan tersebut konsesi IPPKH,” tutupnya. (Adv)
Penulis : Ady Wahyudi
Editor : Muhammad Rafi’i